Penerapan Augmented Reality dalam Bidang Militer
Banyak orang yang masih terkejut atas kerjasama militer AS dengan Microsoft perihal penerapan teknologi augmented reality. Padahal penerapan augmented reality di dunia militer sudah dilakukan sejak 50 tahun lalu. Lalu bagaimana dunia militer menerapkanya?
Pada November 2018 lalu, dunia dikejutkan dengan kerjasama tidak biasa antara militer Amerika Serikat dengan Microsoft untuk pengadopsian teknologi augmented reality berbasis headset Microsoft HoloLens 2.
Microsoft menerima kontrak dengan jumlah fantastis USD 480 juta atau sekitar Rp 6,8 triliun untuk mengembangkan sebuah sistem visual terpadu yang disebut Integrated Visual Augmentation System (IVAS) untuk keperluan peningkatan kemampuan angkatan darat Amerika Serikat.
IVAS merupakan gawai berupa kaca matayang menampilkan beragam informasi penting mengenai medan tempur yang mulanya harus diakses dengan alat berbeda. Mulai dari peta, kompas, penanda lokasi teman dan musuh, semua dapat ditampilkan pada layar kacamata augmented reality ini.
Tentunya hal ini menjadi pemandangan tidak biasa bagi masyarakat awam, terutama di Amerika Serikat yang pada umumnya mengenal penerapan augmented reality dari game Pokemon GO yang menjadi fenomena global di masanya.
Sentimen masyarakat AS terhadap kerjasama ini pun sebenarnya cenderung negatif. Mereka menolak penggunaan teknologi augmented reality yang identik dengan industri damai seperi video game dijadikan sebagai alat penunjang peperangan.
Dilansir dari the Guardian, pegawai Microsoft sampai melayangkan surat protes kepada dewan pemegang keputusan mereka dan menuntut pembatalan kontrak dengan militer AS.
Padahal sebenarnya industri militer adalah salah satu pengguna awal dari teknologi augmented reality sedari 50 tahun lalu, jauh sebelum penerapanya di ranah kultur pop seperti pada kasus Pokemon GO atau filter Snapchat.
Inilah penerapan teknologi augmented reality di dunia militer yang masih banyak orang belum ketahui.
Credits: Independent.co.uk
Tidak banyak yang tahu bahwa penerapan augmented reality yang tampak sangat futuristis ternyata telah dilakukan oleh industri militer sejak dulu.
Dilansir dari telegraph.co.uk, Chris Colston direktur perkembangan strategis BAE System mengatakan bahwa penerapan teknologi augmented reality pertama kali melalui Heads Up Display (HUD) untuk penempur maritim Blackburn Buccaneer Angkatan Laut Inggris di akhir 1950.
Dengan teknologi HUD, pilot pesawat tempur langsung mendapatkan informasi krusial langsung di kaca helm mereka sehingga pilot tidak perlu lagi menengok ke arah kokpit di situasi tempur yang membutuhkan kesiapan penuh.
Teknologi HUD masih digunakan hingga saat ini dengan berbagai peningkatan fitur yang menunjang kesiapan pilot penempur seperti penglihatan malam, dan sistem bidik terintegrasi sehingga efektifitas para pilot penempur semakin meningkat.
Credits: Military.com
Penggunaan sandtable untuk keperluan militer memang sudah lazim digunakan sejak abad pertengahan. Sandtable menawarkan gambaran taktis lokasi peperangan sehingga memudahkan komandan tempur menyusun strategi.
Tetapi keadaan medan tempur yang dinamis belum bisa di akomodasi oleh sandtable tradisional yang bentuknya tidak bisa diubah sesuka hati.
Hal ini pun mendorong militer Amerika Serikat (AS) untuk mengembangkan sandtable berbasis augmented reality yang dinamakan Augmented Reality Sandtable (ARES).
ARES menawarkan sandtable yang dapat diubah secara instan menggunakan gestur fisik mengikuti perkembangan medan perang yang sangat dinamis. Hal ini membuat komandan tempur dapat dengan mudah menyesuaikan strategi sesuai dengan keadaan lapangan saat itu.
Teknologi ini mulai dipamerkan pertama kali pada tahun 2014 di Modern Marine Exhibition dan mulai masuk masa bakti di tahun 2015
Credits: arstechnica.com
Ide untuk meningkatkan kemampuan infantri dengan penerapan augmented reality sebenarnya sudah bergaung cukup lama. Hal ini dikarenakan infantri, sebagai tulang punggung dari sebuah pasukan memiliki efektifitas yang terbatas oleh indra manusia.
Sejak tahun 2008, militer AS sudah mulai mengembangkan alat bantu penglihatan yang meningkatkan kesadaran dan kesiapan tempur infantri agar lebih efektif di medan tempur.
Di tahun 2017, teknologi ini mulai dipamerkan dengan nama Tactical Augmented Reality (TAR). Teknologi ini penerapanya mirip dengan Heads Up Display (HUD) pilot penempur yang menampilkan informasi krusial langsung di hadapan seorang tentara.
Hal ini membuat seorang infantri tidak lagi harus melihat informasi krusial dari alat terpisah seperti GPS dan Peta sehingga ia dapat lebih fokus kepada keadaan pertempuran yang ada di depanya.
Selain itu alat ini juga dibekali dengan beragam teknologi untuk meningkatkan kemampuan seorang infantri seperti penglihatan malam dan alat bidik terintegrasi.
Teknologi ini akan meningkatkan kemampuan seorang infantri menjadi seperti pahlawan super dengan kekuatan melebihi batasan-batasan indra manusia biasa.
Itulah sebagain contoh kecil bagaimana penerapan teknologi augmented reality di dunia militer selama 50 tahun terakhir.
Teknologi yang mulanya dianggap sebagai gimmick semata karena kepopuleranya yang identik dengan kultur hiburan populer seperti Pokemon GO dan fillter Snapchat seolah dipatahkan dengan penerapanya di dunia militer.
Tetapi tentu saja penerapan teknologi augmented reality tidak hanya di industri hiburan dan militer saja. Industri lain seperti kesehatan, pendidikan, serta manufaktur pun sudah menerapkan augmented reality.
Pada November 2018 lalu, dunia dikejutkan dengan kerjasama tidak biasa antara militer Amerika Serikat dengan Microsoft untuk pengadopsian teknologi augmented reality berbasis headset Microsoft HoloLens 2.
Microsoft menerima kontrak dengan jumlah fantastis USD 480 juta atau sekitar Rp 6,8 triliun untuk mengembangkan sebuah sistem visual terpadu yang disebut Integrated Visual Augmentation System (IVAS) untuk keperluan peningkatan kemampuan angkatan darat Amerika Serikat.
IVAS merupakan gawai berupa kaca matayang menampilkan beragam informasi penting mengenai medan tempur yang mulanya harus diakses dengan alat berbeda. Mulai dari peta, kompas, penanda lokasi teman dan musuh, semua dapat ditampilkan pada layar kacamata augmented reality ini.
Tentunya hal ini menjadi pemandangan tidak biasa bagi masyarakat awam, terutama di Amerika Serikat yang pada umumnya mengenal penerapan augmented reality dari game Pokemon GO yang menjadi fenomena global di masanya.
Sentimen masyarakat AS terhadap kerjasama ini pun sebenarnya cenderung negatif. Mereka menolak penggunaan teknologi augmented reality yang identik dengan industri damai seperi video game dijadikan sebagai alat penunjang peperangan.
Dilansir dari the Guardian, pegawai Microsoft sampai melayangkan surat protes kepada dewan pemegang keputusan mereka dan menuntut pembatalan kontrak dengan militer AS.
Padahal sebenarnya industri militer adalah salah satu pengguna awal dari teknologi augmented reality sedari 50 tahun lalu, jauh sebelum penerapanya di ranah kultur pop seperti pada kasus Pokemon GO atau filter Snapchat.
Inilah penerapan teknologi augmented reality di dunia militer yang masih banyak orang belum ketahui.
Penerapan AR Pertama Pada Heads Up Display (HUD) Pilot Pesawat Penempur
Credits: Independent.co.uk
Tidak banyak yang tahu bahwa penerapan augmented reality yang tampak sangat futuristis ternyata telah dilakukan oleh industri militer sejak dulu.
Dilansir dari telegraph.co.uk, Chris Colston direktur perkembangan strategis BAE System mengatakan bahwa penerapan teknologi augmented reality pertama kali melalui Heads Up Display (HUD) untuk penempur maritim Blackburn Buccaneer Angkatan Laut Inggris di akhir 1950.
Dengan teknologi HUD, pilot pesawat tempur langsung mendapatkan informasi krusial langsung di kaca helm mereka sehingga pilot tidak perlu lagi menengok ke arah kokpit di situasi tempur yang membutuhkan kesiapan penuh.
Teknologi HUD masih digunakan hingga saat ini dengan berbagai peningkatan fitur yang menunjang kesiapan pilot penempur seperti penglihatan malam, dan sistem bidik terintegrasi sehingga efektifitas para pilot penempur semakin meningkat.
Augmented Reality Sandtable untuk Kesadaran Taktis yang Dinamis
Credits: Military.com
Penggunaan sandtable untuk keperluan militer memang sudah lazim digunakan sejak abad pertengahan. Sandtable menawarkan gambaran taktis lokasi peperangan sehingga memudahkan komandan tempur menyusun strategi.
Tetapi keadaan medan tempur yang dinamis belum bisa di akomodasi oleh sandtable tradisional yang bentuknya tidak bisa diubah sesuka hati.
Hal ini pun mendorong militer Amerika Serikat (AS) untuk mengembangkan sandtable berbasis augmented reality yang dinamakan Augmented Reality Sandtable (ARES).
ARES menawarkan sandtable yang dapat diubah secara instan menggunakan gestur fisik mengikuti perkembangan medan perang yang sangat dinamis. Hal ini membuat komandan tempur dapat dengan mudah menyesuaikan strategi sesuai dengan keadaan lapangan saat itu.
Teknologi ini mulai dipamerkan pertama kali pada tahun 2014 di Modern Marine Exhibition dan mulai masuk masa bakti di tahun 2015
Peningkatan Kemampuan Infantri dengan Tactical Augmented Reality (TAR)
Credits: arstechnica.com
Ide untuk meningkatkan kemampuan infantri dengan penerapan augmented reality sebenarnya sudah bergaung cukup lama. Hal ini dikarenakan infantri, sebagai tulang punggung dari sebuah pasukan memiliki efektifitas yang terbatas oleh indra manusia.
Sejak tahun 2008, militer AS sudah mulai mengembangkan alat bantu penglihatan yang meningkatkan kesadaran dan kesiapan tempur infantri agar lebih efektif di medan tempur.
Di tahun 2017, teknologi ini mulai dipamerkan dengan nama Tactical Augmented Reality (TAR). Teknologi ini penerapanya mirip dengan Heads Up Display (HUD) pilot penempur yang menampilkan informasi krusial langsung di hadapan seorang tentara.
Hal ini membuat seorang infantri tidak lagi harus melihat informasi krusial dari alat terpisah seperti GPS dan Peta sehingga ia dapat lebih fokus kepada keadaan pertempuran yang ada di depanya.
Selain itu alat ini juga dibekali dengan beragam teknologi untuk meningkatkan kemampuan seorang infantri seperti penglihatan malam dan alat bidik terintegrasi.
Teknologi ini akan meningkatkan kemampuan seorang infantri menjadi seperti pahlawan super dengan kekuatan melebihi batasan-batasan indra manusia biasa.
Itulah sebagain contoh kecil bagaimana penerapan teknologi augmented reality di dunia militer selama 50 tahun terakhir.
Teknologi yang mulanya dianggap sebagai gimmick semata karena kepopuleranya yang identik dengan kultur hiburan populer seperti Pokemon GO dan fillter Snapchat seolah dipatahkan dengan penerapanya di dunia militer.
Tetapi tentu saja penerapan teknologi augmented reality tidak hanya di industri hiburan dan militer saja. Industri lain seperti kesehatan, pendidikan, serta manufaktur pun sudah menerapkan augmented reality.
Komentar
Posting Komentar